Kisah Sejarah Pasar Minggu yang Menjadi Sentra Buah Sepanjang Masa

Jakarta - Sejak menjadi bagian wilayah Batavia, Pasar Minggu telah diarahkan menjadi pemasok kebutuhan buah-buahan untuk kota-kota besar di Pulau Jawa.

Itulah salah satu bait dari lagu anak-anak berjudul Pepaya Cha yang sangat akrab di telinga anak-anak Indonesia dari generasi tahun 1960-an hingga generasi tahun 1990-an.

Menurut Kelik M. Nugroho dalam Almanak Musik Indonesia 2005-2015, lagu tersebut diciptakan sekaligus dinyanyikan oleh Adikarso lewat iringan Orkes Kelana Ria pada 1955.

Namun baru lima tahun kemudian Papaya Cha dirilis dalam album kompilasi bertajuk sama dalam track kelima.

"Selain itu, lagu "Papaya Cha Cha" dinobatkan sebagai 150 Lagu Indonesia Terbaik sepanjang masa versi majalah Rolling Stone edisi # 56, Desember 2009," tulis Evelyn Natasia.

Terlepas dari itu semua, nama Pasar Minggu yang diidentikan dengan buah secara historis memang sudah berlangsung lebih dari seratus tahun.

Bahkan menurut salah satu sesepuh bernama Mohamad Ali (95 ), nama Pasar Minggu tersemat karena aktivitas wilayah itu sebagai pusat buah-buahan.

"Kata engkong saya, kebanyakan orang pada berdatangan beli buah-buahan yang ada di Pejaten, Ragunan, Jagakarsa, Srengseng, Rawaminyak itu pada hari Minggu. Makanya orang-orang tua kite dulu bilang Pasar Minggu," ujar kakek yang saat ini tinggal di kawasan Kalibata itu.

Penjelasan Engkong Ali memang ada benarnya. Dalam riset seorang peneliti LIPI bernama Asep Suryana, Pasar Minggu sebagai pemasok buah-buahan sudah berlangsung kala wilayah itu ditetapkan sebagai bagian ommelanden Batavia (daerah kitaran Batavia) di bawah Distrik Meester Cornelis (Jatinegara) pada pertengahan 1800-an.

"Bila dirunut ke belakang, fungsi sosial ekonomi wilayah Pasar Minggu sebagai penghasil buah-buahan dan dinamika hubungan pinggiran-pusat yang terbentuk, merupakan hasil dari kebijakan wilayah pemerintah kolonial Hindia Belanda," ungkap Asep Suryana dalam bukunya, Pasar Minggu, Tempo Doeloe: Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah 1921-1966.

Fungsi sosial ekonomi wilayah tersebut lebih menguat lagi manakala sistem transportasi kereta api Batavia-Buitenzorg (Bogor) telah beroperasi pada 1873.

Pemerintah Hindia Belanda secara resmi menjadikan Pasar Minggu sebagai sentra buah-buahan ketika pada 1 April 1921 membangun laboratorium pertanian berupa kebun percobaan.

Pendirian lembaga penelitian itu tak terlepas dari adanya gejala ekonomi dari menguatnya komersialisasi buah-buahan yang dilakukan petani setempat sejak awal abad ke-20.

Selain buah-buahan asli setempat (yang paling banyak adalah pepaya), Pasar Minggu pun diarahkan kepada budidaya jenis buah-buahan lainnya.

Sebagai contoh di Jatipadang ditanam secara khusus pohon jeruk, Rawaminyak menjadi lahan penanaman pohon pisang dan jambu biji, Ragunan ditanami sawo, jeruk bali, rambutan, jeruk keprok dan macam-macam jeruk manis, di Kampung Kandang ditanami alpukat dan pisang dan di Tanjung West (Tanjung Barat) ditanami jeruk siam, jeruk jepun, jeruk tejakula dan jeruk kara.

Upaya pemerintah Hindia Belanda itu ternyata menuai hasil yang sangat memuaskan. Kendati di period pemerintah Republik Indonesia, Pasar Minggu tidak diperlakukan lagi secara khusus, namun wiayah itu masih sangat produktif memasok kebutuhan buah-buahan untuk kota-kota besar di Pulau Jawa hingga awal 1970-an.

Kini nama Pasar Minggu memang tidak lagi identik dengan buah-buahan. Untuk mendapatkan buah-buahan segar, orang kota lebih menyukai datang ke supermarket-supermarket khusus buah-buahan yang banyak tersebar di Jabodetabek.

Sedangkan Pasar Minggu hari, perlahan namun pasti semakin dipadati oleh perumahan, menggantikan kebun-kebun buah-buahan yang kini hanya tersisa dalam bentuk nama-nama jalan kecil seperti Jalan Rambutan, Jalan Nangka, Jalan Jambu, Jalan Sawo dan Jalan Pepaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengetahui Kisah Hilangnya Bom Atomk Mark IV Ssat Kecelakaan Pertama Pesawat Nuklir

Mengenal Tarian Reed Atau Umhlanga Raja Zulu, Sebuah Tradisi Tes Keperawanan Ratusan Gadis Menari Telanjang Dada

Mengenal Ritual Andingingi Dari Sulawesi, Sebuah Tradisi Yang Menggambarkan Keselarasan Suku Suku Kajang Dengan Alam