Mengenal Ritual Andingingi Dari Sulawesi, Sebuah Tradisi Yang Menggambarkan Keselarasan Suku Suku Kajang Dengan Alam

Jakarta - Seperti semboyannya "Bhineka Tunggal Ika", keberagaman menjadi identitas utama Negara Indonesia. Keberagaman suku dan kebudayaan turut memperkaya jati diri Indonesia. Suku Mentawai, Suku Badui, Suku Sasak, Suku Asmat contohnya yang lebih terkenal.

Namun tak banyak yang tahu, di Sulawesi terdapat Suku Kajang. Tepatnya di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Sama seperti suku lainnya yang punya tradisi dan kebudayaan khasnya sendiri.

Suku Kajang menjadi suku tradisional yang tinggal di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Bak Suku Badui yang punya Badui Dalam dan Badui Luar, Suku Kajang juga demikian. "Tau Kajang" atau "Ammatoa" mereka yang berada di pedalaman, dan "Tau Lembang" mereka yang tinggal di sekitar Tau Kajang.

Kebudayaanya pun hampir sama, begitu mengagungkan dan hidup harmonis selaras dengan alam. Salah satu wujudnya ialah Ritual Andingingi. Ritual Andingingi dimulai dengan percikan air berkat dari ikatan tangkai pinang dan dedaunan. Diikat menjadi satu yang disebut dengan "pabbe'bese". Seluruh peserta tampak menengadah menanti cipratan air juga olesan "bacca" atau bedak cair dari tepung beras dan kunyit.

Baik Suku Badui dan Suku Kajang, tersematkan hukum adat yang menganggap alam menjadi sumber kekuatan. Bagi Suku Kajang, merusak alam sama saja menghianati alam. Itulah mengapa beberapa hutan adat begitu dikeramatkan oleh Suku Kajang.

Antara manusia dan Tuhan dijembatani oleh alam. Tiap tahunnya Suku Kajang menyelenggarakan routine Andingingi. Yang bertujuan menjadi doa dan harapan akan rezeki, kedamaian, dan dijauhkan dari mara bahaya.

Uniknya, dalam tradisi Andingingi pakaian mereka didominasi warna hitam. Pakain hitam menjadi kewajiban saat memsasuki wilayah "Ammatoa" atau kajang dalam. Bagi suku Kajang, warna hitam melambangkan kesakralan. Mereka menganggap warna hitam mempunyai makna kesederhanaan dan kewibawan. Selain itu sebuah simbol persamaan baik itu derajat dan sumber kekuatan.

Baik pria maupun wanita semua serba hitam. Andingingi diiringi dengan beraneka macam sesaji hasil bumi. Bahan makanan berupa nasi, ketan, buah-buahan, sayuran, dan daging kerbau sebelumnya didoakan agar mendapat keberkahan. Semuanya dikemas mengunakan daun lontar, keranjang bambu, dan tempurung kelapa.

Beberapa atraksi digelar dengan kekuatan kanuragan bernama "Attunu panroli". Seorang pemangku adat bernama Puto Gassing menggunakan linggis panas. Yang sebelumnya telah dipanaskan dengan dedaunan yang terbakar. Besi linggis yang memerah berkali-kali diusapkan ke talapak kaki, namun ia tak merasakan panas sedikitpun.

"Attunu panroli" menjadi sistem penghakiman jika di Kajang terjadi keraguan menentukan siapa pelaku pelanggaran. Kedua terduga diperintahkan memegang linggis panas. Jika tangannya melepuh maka dialah yang bersalah.

Aturan tegas merawat alam selalu ditegakkan oleh Suku Kajang. Memasuki hutan keramat atau "rambang seppang" tidak diperkenankan memakai alas kaki. Selain itu, Memanfaatkan hutan, mereka dilarang menggunakan peralatan modern.

Ritual Andingingi diakhiri dengan menyantap bersama sesaji yang tersedia. Kehangatan dan kekeluargan dibalut dengan rimbunnya hutan yang mereka jaga. Andingingi memiliki beberapa jenis yang punya perbedaan skala dan tempatnya. Yakni andingingi kampong (kampung), andingingi borong (hutan) dan andingingi bola (rumah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengetahui Kisah Hilangnya Bom Atomk Mark IV Ssat Kecelakaan Pertama Pesawat Nuklir

Mengenal Tarian Reed Atau Umhlanga Raja Zulu, Sebuah Tradisi Tes Keperawanan Ratusan Gadis Menari Telanjang Dada

Mengenal Kisah Nyi Resik Jaya, Sebuah Jasa Yang Mempertahankan Tanah Kelahirannya